Tuesday, December 8, 2009

PROBLEMATIKA LOGISTIK OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN: TINJAUAN ATAS POTENSI TERJADINYA KORUPSI DI SEKTOR KESEHATAN DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Pembahasan tentang Problematika Logistik Obat dan Perbekalan Kesehatan dalam bingkai analisis “Supply dan Quality Assurance[1] akan tuntas dibahas dengan pendekatan teori-teori perencanaan, pengadaan, distribusi, dan penggunaan obat dan perbekalan kesehatan. Demikian juga tentang Quality Assurance. Ketentuan GMP (Good Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices) – yang jika dijalankan secara konsisten - akan dengan mudah meneguhkan kondisi terjaminannya kualitas, khasiat, dan keamanan produk obat dan perbekalan kesehatan sampai ke tangan pengguna.

Namun, ketika Transparency International mengeluarkan Global Corruption Report 2006 dengan special focus: “Corruption and Health” serta dari data-data aktual yang ada, pembahasan tentang problematika logistik dan perbekalan kesehatan ternyata tidak lagi sesederhana problematika penatalaksanaan Supply dan Quality Assurance saja. Dibalik itu semua ada “pasar masalah”[2] yang potensial menjadi awal terjadinya suap menyuap dan korupsi dalam pengadaan obat dan perbekalan kesehatan di Indonesia, khususnya di sektor pemerintah.


Karakteristik yang unik dari pelayanan kesehatan dan obat – yang pada gilirannya menimbulkan kekhususan dalam perencanaan, pengadaan, distribusi, dan penggunaannya – memberikan kontribusi yang signifikan dalam membentuk regulasi yang ketat yang pada dasarnya bertujuan untuk menjamin keamanan dan keselamatan penggunanya (pasien), namun sekaligus menciptakan ruang yang leluasa untuk menciptakan “masalah” yang selanjutnya bertransformasi menjadi peluang terjadinya korupsi dan penyuapan.

Korupsi dan penyuapan di sektor kesehatan, khususnya dalam logistik obat dan perbekalan kesehatan, mempunyai magnitude dan dampak yang jauh lebih besar dan meluas ketimbang hal yang sama di sektor lain. Implikasinya langsung kepada kesehatan masyarakat, nyawa manusia dan hak warga negara dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang terjangkau dan memadai.

Dengan asumsi atas magnitude dan implikasi yang besar dan meluas inilah maka pembahasan korupsi dan penyuapan dalam logistik obat dan perbekalan kesehatan ini menjadi penting. Namun, agar pembahasan tidak terfokus atau malah meluas menjadi pembahasan hukum, maka kajian dalam makalah ini akan dibatasi hanya pada potensi penyebab terjadinya korupsi dan penyuapan, implikasinya serta pembenahan yang harus dilakukan oleh komunitas kesehatan agar tujuan mulia dari pembangunan kesehatan dapat terwujud.


KORUPSI, SUAP DAN GRATIFIKASI DI SEKTOR KESEHATAN

Pengertian korupsi berasal dari bahasa latin corruptio, corrumpere, yang secara harfiah berarti: kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian[3]. Dalam pengertian hukum positif, pengertian korupsi[4], suap[5] dan gratifikasi[6] dapat dilihat dalam berbagai undang-undang tentang tindak pidana korupsi yang digunakan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Substansinya adalah, jika dilihat dari sitem nilai, maka korupsi, suap dan gratifikasi merupakan perbuatan yang sangat tercela yang seharusnya tidak layak dilakukan oleh siapapun, dalam keadaan apapun dan karena sebab apapun. Sehingga hukum positif di Indonesia menempatkannya dalam klasifikasi “extraordinary crime“, yang karena pelaku dan proses perbuatannya dilakukan oleh orang-orang yang “terpilih“ (karena jabatannya) dan dengan cara-cara yang “canggih“, maka pemberantasannya juga dilakukan dengan cara-cara yang “luar biasa“.

Indonesia Corruption Watch dalam press release 21 November 2008 menyampaikan kajiannya yang mengungkapkan sampai dengan tahun 2008 telah dilakukan pengusutan terhadap 51 kasus korupsi di lingkungan kesehatan yang menimbulkan kerugian negara Rp 128 milyar. Kasus terbanyak adalah pengadaan barang dan jasa dengan modus mark up (22 kasus, kerugian negara Rp 103 milyar), yang umumnya melibatkan Kepala Dinas Kesehatan (KaDinkes) dan Direktur rumah sakit.

Sekedar perbandingan, laporan Transparency International (TI) 2006 mengungkapkan terjadinya korupsi sektor kesehatan di Kamboja. Di negara ini, korupsi sektor kesehatan menjadi penyebab mengapa investasi di bidang kesehatan tidak mampu memberikan hasil yang optimal kepada derajat kesehatan masyarakatnya. Dari penelitian yang dilakukan TI tahun 2005, terungkap bahwa korupsi terjadi di setiap level dalam sistem kehatannya. Bahkan sekitar 5 sampai 10 persen anggaran kesehatan negara tersebut sudah menguap sebelum diserahkan kepada Departemen Kesehatan dan seterusnya secara berturut juga menguap ketika anggaran kesehatan disalurkan ke tingkat provinsi, kabupaten, rumah sakit bahkan sampai ke klinik.

Jika kondisi di Kamboja diekstrapolasi ke dalam kondisi di Indonesia, layak diduga hasil pantauan ICW atas kerugian negara yang besarnya “cuma“ Rp 128 milyar pada dasarnya hanya merupakan “puncak gunung es“ dari besaran korupsi yang terjadi di sektor kesehatan di Indonesia.


KARAKTERISTIK SISTEM KESEHATAN DAN PELUANG KORUPSI

Transparency International (TI) menyoroti karakteristik yang ada dalam sistem kesehatan yang menyebabkan terbukanya peluang dan potensi terjadinya korupsi, antara lain[7]: a. An Imbalance of information

Karakteristik ini memperlihatkan adanya pengetahuan yang tidak seimbang antara tenaga kesehatan dengan pasien. Demikian juga pengetahuan dan informasi yang dimiliki perusahaan obat dan perbekalan kesehatan. Mereka lebih tahu dan menguasainya ketimbang pegawai negeri yang bertugas dan mempunyai kewenangan penggunaan anggaran kesehatan (Pimpinan Proyek, Kuasa Pengguna Anggaran, Panitia Pengadaan Barang dan Jasa, dan lain-lain). Sebaliknya, ketersediaan informasi tentang harga dan spesifikasi produk serta transparansi proses pengadaan barang dan jasa di sektor kesehatan ternyata mampu menekan terjadinya korupsi[8].

b. The uncertainty in health market

Sulit dipastikan (dan tidak seorangpun pernah berharap) kapan akan sakit, suatu daerah terkena wabah atau apa penyakit/ wabah yang akan diderita dan seefektif apa sebenarnya obat dan perbekalan kesehatan tersedia. Ketidakpastian ini menjadi salah satu penyebab munculnya peluang terjadinya korupsi. Pada kondisi tertentu, situasi yang dianggap “darurat” dapat menyebabkan pejabat pemerintah yang berwenang melakukan diskresi untuk pengadaan barang dan jasa yang tidak mengikuti ketentuan yang ada.

c. The complexity of health system

Proses pengadaan barang dan jasa di sektor kesehatan melibatkan kelompok besar “pemain” yang saling jalin menjalin, sehingga mempersulit analisa informasi tentang obat dan perbekalan kesehatan. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan sulitnya mewujudkan transparansi, upaya deteksi kemungkinan adanya penyimpangan dan tindakan pencegahan korupsi. Hubungan dan “keterkaitan kepentingan” antara rekanan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan dengan penyedia pelayanan kesehatan dan pengambil keputusan (pejabat pemerintah) seringkali “terasa ada, terkatakan tidak”.


Pejabat pemerintah, penyedia dan pelaksana pelayanan kesehatan (rumah sakit, dokter), rekanan (supplier) dan masyarakat menghadapi bauran insentif yang kompleks yang memicu terjadinya korupsi dalam berbagai macam bentuk. TI menggambarkan berbagai bentuk korupsi di sektor kesehatan sebagai berikut:

a. Embezzelement and Theft

Bentuk penggelapan anggaran kesehatan ini dapat terjadi di lingkungan pejabat pemerintah pusat maupun daerah atau di berbagai titik dimana anggaran tersebut dialokasikan (pengadaan barang dan jasa di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kota, rumah sakit, puskesmas dan seterusnya). Bentuk korupsi lainnya adalah pencurian terhadap logistik obat dan perbekalan kesehatan di berbagai lapisan pelayanan kesehatan, serta digunakannya peralatan medis milik pemerintah untuk kepentingan pribadi dan atau untuk praktik swasta.

b. Corruption in procurrement

Adanya kolusi, suap dan kickbacks dalam pengadaan barang dan jasa di sektor kesehatan pemerintah menyebabkan terjadinya penggelembungan anggaran, atau sebaliknya menyebabkan logistik obat dan perbekalan kesehatan yang diprogramkan tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Di pihak lain, seringkali perencanaan dan investasi infrastruktur di lingkungan rumah sakit menghabiskan dana yang sangat besar dan peralatan medis berteknologi tinggi yang rawan korupsi.

c. Corruption in payment system

Praktik korupsi juga mencakup manipulasi dan pemalsuan dokumen asuransi untuk kepentingan pasien tertentu, tagihan biaya perawatan yang tidak sah, manipulasi penggunaan obat dan alat kesehatan, memasukkan biaya perawatan pasien yang tidak dicakup oleh asuransi ke dalam cakupan asuransi dan pembiayaan atas pasien, obat dan alat kesehatan fiktif.

d. Corruption in the pharmaceutical chain

Pengadaan dan penggunaan obat dan sediaan farmasi di sarana pelayanan kesehatan pemerintah menempati posisi yang sangat rawan bagi terjadinya praktik korupsi. Bentuknya dapat berupa pelanggaran etika pemasaran obat dengan memberikan insentif tertentu kepada institusi rumah sakit (untuk obat yang masuk dalam formularium rumah sakit) dan atau dokter (untuk prilaku peresepan yang menimbulkan insentif).

e. Corruption at the point of health service delivery

Bentuk korupsinya bermacam-macam, seperti memberi atau menerima pembayaran “under-the-table” untuk pelayanan kesehatan yang seharusnya gratis, meminta pembayaran dengan menawarkan perawatan dan pelayanan yang khusus serta memberi atau menerima suap untuk kepentingan keluarnya izin, akreditasi dan sertifikasi bagi fasilitas pelayanan kesehatan.

Dalam tindak pidana korupsi di sektor kesehatan, TI menengarai adanya lima aktor kunci yang karena penyalahgunaan kewenangan, tanggung jawab serta “moral hazard”nya dapat menimbulkan korupsi, yaitu: (1). Regulators (Pejabat Departemen Kesehatan, Anggota Parlemen, dan Supervisory commisions); (2). Payers (Organisasi Jaminan Sosial, Asuransi Kesehatan); (3). Health care providers (Rumah sakit, dokter, apoteker, paramaedis); (4). Patients; dan (5). Suppliers (produsen peralatan medis dan perbekalan kesehatan serta perusahaan farmasi.

POTENSI KORUPSI DI SEKTOR KESEHATAN DI INDONESIA

Dalam konteks terjadinya korupsi di sektor kesehatan di Indonesia, mengutip hasil kajian yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Laporan Tahunan 2008, Sistem Perencanaan dan Penyusunan Anggaran di Dewan perwakilan Rakyat (DPR) dapat berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi. Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2004 tentang Penyusunan RKA-KL (Rencana Kegiatan Anggaran Kementerian/ Lembaga) sebagai turunan dari UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, memberikan perbedaan yang signifikan dalam siklus perencanaan penganggaran APBN saat ini dengan era sebelumnya. Saat ini, dalam melaksanakan fungsi penganggaran dan pengawasannya, anggota DPR terlibat aktif dalam proses perencanaan dan penganggaran APBN, dalam hal ini perencanaan dan penganggaran APBN di bidang kesehatan. KPK menemukan beberapa kendala akibat kondisi ini, yaitu[9]:

1. Potensi tindak pidana korupsi pada proses perencanaan dan penganggaran

  • Pembahasan DPR sampai pada satuan terkecil kegiatan, sehingga membuka peluang terjadinya konflik kepentingan anggota DPR terhadap kegiatan tersebut

  • Kurangnya transparansi dengan sering dilakukannya rapat secara tertutup

2. Kelemahan proses kerja

  • Kurangnya efisiensi dan efektifitas rapat

  • Adanya anggota DPR yang duduk pada beberapa alat kelengkapan

  • DPR melakukan pembahasan anggaran secara berulang dalam satu siklus

3. Kelemahan kelembagaan


  • Kurangnya dukungan terhadap proses analisa oleh anggota DPR

    Terlalu banyaknya ruang lingkup dan pasangan kerja Komisi DPR

Potensi terjadinya korupsi di sektor kesehatan juga dapat terjadi di kementerian dan lembaga negara sebagai Pengguna Anggaran yang mewujudkannya dalam bentuk berbagai program dan proyek pengadaan barang dan jasa. Potensi korupsi dapat terjadi di semua level, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/ kota sampai dengan rumah sakit.

Pada dasarnya pemerintah telah mengatur pengadan logistik obat dan perbekalan kesehatan di sektor pemerintah melalui Keppres Nomor 80 tahun 2003 yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Perpres Nomor 95 tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Namun tetap saja peluang terjadinya korupsi dapat terjadi, utamanya berkisar di dua aspek, yaitu administrasi dan teknis.

Dalam masalah administrasi, metode pengadaan barang dan jasa dapat menjadi sumber potensial terjadinya korupsi, apakah dalam bentuk Tender maupun Penunjukan Langsung.

Alasan keterbatasan waktu, kedaruratan dan gagalnya proses tender dapat menjadi pilihan untuk tetap dilaksanakannya proyek pengadaan barang dan jasa dengan metode Penunjukan Langsung.

Dalam aspek teknis, penentuan spesifikasi teknis yang seharusnya menjadi kewenangan mutlak Pengguna Anggaran, namun akibat ”imbalance information” dan pengetahuan teknis pelaksana proyek terhadap produk obat dan perbekalan kesehatan yang relatif kurang, menyebabkan ketergantungan pada informasi dan data teknis dari rekanan menjadi sangat tinggi. Adanya kerjasama dalam penentuan spesifikasi teknis ini merupakan salah satu titik krusial terjadinya tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa di sektor kesehatan.

Titik krusial lainnya adalah dalam penetapan Harga Perhitungan Sendiri (HPS)/ Owner Estimate (OE). Untuk mendapatkan hasil pengadaan barang, dalam hal ini logistik obat dan perbekalan kesehatan yang menguntungkan negara dengan kualitas barang yang dapat dipertanggungjawabkan, maka HPS harus dilakukan secara benar, berdasarkan informasi harga pada pasar yang bersaing, perhitungan pajak yang tepat dan biaya-biaya lainnya yang terkait langsung dengan pengadaan barang.

Pentingnya kredibilitas dan independensi Pengguna Anggaran dalam penentuan spesifikasi teknis dan HPS/ OE merupakan syarat mutlak terselenggaranya pengadaan logistik obat dan perbekalan kesehatan yang akuntabel. Kedua aspek ini mempunyai peran strategis sebagai alat kontrol kualitas barang serta kewajaran harga yang ditawarkan rekanan.

Potensi korupsi lainnya yang sampai hari ini belum tersentuh upaya pemberantasan korupsi adalah gratifikasi dalam pengadaan obat di rumah sakit (penentuan jenis dan merek obat dalam formularium rumah sakit) dan insentif yang diberikan perusahaan farmasi kepada dokter atas jasanya menuliskan resep untuk obat-obat produksi perusahaan farmasi tersebut.

Jika gratifikasi dan insentif ini terjadi di sarana pelayanan kesehatan swasta, mungkin ketentuan tentang pemberantasan korupsi akan sulit menyentuhnya. Yang jadi masalah adalah jika penentuan formularium rumah sakit dan kolusi peresepan obat dengan perusahaan farmasi dilakukan di rumah sakit pemerintah dan oleh dokter PNS yang berpraktik di sana. Gratifikasi dan insentif ini merupakan praktik korupsi yang ”aromanya” tercium di hampir seluruh rumah sakit pemerintah di Indonesia.

PEMBERANTASAN KORUPSI DI SEKTOR KESEHATAN: HARAPAN KE DEPAN


Pada tahun 2000, IPK Indonesia masih berada pada angka 1,7, yaitu angka yang mencerminkan bahwa Indonesia termasuk kelompok negara paling korup di dunia. Pada tahun 2006 terjadi perbaikan dimana IPK Indonesia naik menjadi 2,4. Data yang dikeluarkan Transparency International menyebutkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2008 meningkat menjadi 2,6 dari 2,3 di tahun 2007. Turunnya tindak pidana korupsi di Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari gencarnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, khususnya oleh KPK.


Pada tahun 2009 dan ke depan, upaya pemberantasan korupsi di sektor kesehatan di Indonesia layak diduga akan lebih gencar dilakukan, baik oleh Kejaksaan maupun KPK.


Memberantas prilaku dan budaya korupsi memang bukanlah hal yang mudah. Di sektor kesehatan, karakteristik yang unik dan ”canggih” dari logistik obat dan perbekalan kesehatan serta pengadaaanya sering dijadikan justififikasi terhadap peyimpangan prosedur dan prilaku koruptif.


Upaya pemberantasan korupsi di sektor kesehatan membutuhkan komitmen dan kesadaran kolektif dari seluruh pemangku kepentingan. Kesadaran bahwa korupsi yang dilakukan di sektor kesehatan akan menimbulkan dampak berantai dan berkelanjutan bagi kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat akan menjadi benteng hati nurani bagi pejabat di institusi kesehatan pemerintah untuk tidak melakukan korupsi, menerima suap dan gratifikasi.


Dalam sebuah obrolan serius bersama teman-teman panitia pengadaan barang dan jasa di lingkungan Departemen Kesehatan penulis pernah ”memprovokasi” mereka dengan mengatakan bahwa spirit dan konstruksi peraturan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang mereka jadikan acuan sebenarnya bukanlah untuk melindungi mereka sebagai panitia, namun lebih cenderung melindungi atasan mereka. Jika terjadi indikasi dan dugaan tindak pidana korupsi, merekalah yang pertama sekali menjadi sasaran. Dengan terkejut mereka mengatakan: ”Apa yang harus kami lakukan?”


Saya mengatakan:

  1. Catat setiap perintah, arahan atasan dan poin penting dalam notulensi rapat di buku harian. Demikian juga setiap lobby, approach dan preferensi atasan terhadap rekanan harus diingat, dicatat dan kalau perlu direkam.

  2. Simpan semua dokumen berkenaan pengadaan barang dan jasa dan siapkan copynya untuk arsip pribadi jika dibutuhkan dikemudian hari.

Di pihak lain, ketika mengobrol dengan Pejabat Eselon 3, Eselon 2 dan Eselon 1, saya mengatakan bahwa pada saat ini dan ke depan mereka harus lebih berhati-hati dalam proses pengadaan barang dan jasa, khususnya untuk logistik obat dan perbekalan kesehatan karena staf dan bawahan mereka telah melakukan langkah-langkah seperti yang saya sarankan di atas. Para pejabat tersebut bertanya: ”Mengapa harus demikian?”

Saya menjawab: ”Sama seperti Bapak-bapak, staf dan bawahan Bapak di panitia pengadaan barang dan jasa juga tidak mau anaknya mempunyai orangtua Koruptor”.


Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, SH, MM, MH


  • Pakar Hukum Kesehatan dan Farmasi

  • Ketua Komite Advokasi dan Bantuan Hukum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi).
Sumber: http://www.hukor.depkes.go.id/?art=33

Thursday, November 19, 2009

Menjadi Pribadi yang Sehat dan Menyenangkan

SAMA-sama di PHK, si A terus meratapi nasib, si B malah jadi petani sukses. Sama-sama miskin, si A menjadi minder, si B aktif bermasyarakat. Sama-sama disakiti, si A tak mau berteman lagi, si B malah jadi banyak teman.

Setiap hari orang berhadapan dengan aneka masalah baik masalah ekonomi (kenaikan harga – harga, bbm, dll), keluarga (pertengkaran atau perselisihan), sekolah (gagal ujian, dimarahi guru, dll), ataupun masalah pekerjaan (tugas belum tuntas, gagal bekerja, dll).

Banyak juga yang menghadapi masalah berat yang menimbulkan perubahan dalam hidup, sebut saja penyakit yang parah (stroke, kanker, dll), bangkrut, atau kematian orang yang dicintai.

Masalah dapat sama tetapi sikap dan tanggapan orang terhadap masalah dapat berbeda...akibatnya pengaruhnya pada diri orang juga berbeda. Ada yang menyenangkan (membawa manfaat positif untuk pengembangan pribadi maupun orang lain) dan ada yang tidak menyenangkan (merugikan diri dan orang lain)

Sikap Positif
Seorang psikolog bernama Kobassa menemukan 3 sikap positif yang sangat mendukung kesehatan pribadi, yaitu:

1. Kontrol, yaitu orang yang memiliki keyakinan bahwa dirinya dapat menjadi penentu nasibnya sendiri. Cara pandang ini menyehatkan karena orang tidak mudah menyalahkan orang lain, situasi atau Tuhan untuk kegagalan atau masalah-masalah yang dialami.

Untuk setiap peristiwa baik itu yang menyenangkan ataupun yang menyusahkan orang dengan keyakinan kontrol yang tinggi ini cenderung akan melakukan refleksi atau introspeksi diri. Dengan refleksi, orang dapat belajar dari pengalaman-pengalaman hidupnya sehingga pengertiannya akan terus bertambah untuk menghadapi masalah-masalah kehidupan.

2. Komitmen, yaitu perasaan bertujuan dan keterlibatan dengan kegiatan-kegiatan, maupun hubungan-hubungan dengan orang-orang lain. Dengan komitmen ini, orang-orang tidak cepat menyerah dengan banyaknya tekanan hidup, karena ia dapat meminta bantuan pada orang-orang lain di saat mengalami banyak tekanan.

Orang dengan komitmen yang rendah seringkali memandang keterlibatan dalam kegiatan dan hubungan dengan orang lain hanya akan menjeratnya pada kewajiban-kewajiban yang melelahkan. Akibatnya, ia tidak memiliki sumber-sumber bantuan sosial yang dapat membantunya bertahan ketika menghadapi tekanan hidup.

3. Tantangan, yaitu : Cara memandang kesulitan sebagai sesuatu yang dapat mengembangkan diri bukan mengancam rasa aman diri. Orang demikian adalah orang yang mau mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menghadapi persoalan bukan menghindarinya, karena ia tahu manfaatnya untuk pengembangan kemampuan atau ketrampilan diri.

Sebaliknya orang yang memandang persoalan hidup sebagai sesuatu yang mengancam rasa amannya, cenderung akan menghindarinya sehingga ia kehilangan kesempatan untuk lebih meningkatkan diri. Kalaupun orang ini terpaksa menghadapinya biasanya ia akan menghadapi dengan bersungut-sungut akibatnya malah tambah tertekan dan dapat memunculkan persoalan-persoalan baru dalam relasinya dengan orang lain.

Psikolog lain Victor Frankl menemukan bahwa ternyata sikap penerimaan dan syukur membuat orang lebih mampu menghadapi penderitaan. Penerimaan berarti menerima penderitaan atau kesusahan sebagai suatu lakon kehidupan orang.

Hidup memiliki dua sisi, ada susah ada senang, ada baik dan ada buruk. Bersikap jantan dan adil dalam menghadapi hidup menjadi senjata dan kekuatan agar dapat berbesar hati menerima kesusahan. Dalam kepedihan hati, mencari hal – hal baik yang masih dapat disyukuri juga akan membantu proses penerimaan terhadap penderitaan atau kesusahan. Tetapi perlu diingat, menerima tidak berarti menyerah secara pasif, menerima mengarah pada sikap hati untuk berserah diri.

Jadi, pribadi sehat bukanlah pribadi yang bebas dari masalah, pribadi sehat tidak juga berarti senang terus-menerus. Pribadi yang sehat adalah pribadi yang mampu menghadapi setiap persoalan hidup dengan “tersenyum” karena ia memiliki sikap positif terhadap setiap persoalan untuk pengembangan pribadi, membuatnya lebih mau terbuka pada setiap pengalaman manis ataupun getir, menerima dan mensyukurinya.

Pribadi sehat adalah pribadi yang menyenangkan. Sikap tidak mudah menyalahkan orang lain, kemauan untuk berkomitmen, penerimaan dan rasa syukur membuat pribadi sehat lebih mampu menghargai orang lain dan menjadikannya pribadi yang menyenangkan.

Lalu menjadi pribadi yang menyenangkan, perlukah? Tentu saja perlu! Karena orang butuh kehadiran orang lain. Orang tak dapat hidup sendiri dan melakukan segalanya sendiri.

Ketika seseorang menjadi pribadi yang menyenangkan, ia tidak hanya membahagiakan orang lain, tetapi ia juga membahagiakan dirinya sendiri. Hubungan yang baik dan menyenangkan tentu juga akan mengarah pada kesuksesan dalam hidup (dalam sekolah, pekerjaan, pernikahan, keluarga, ataupun dalam masyarakat).

Mari belajar menjadi pribadi yang sehat. Ketika masalah datang, kita boleh bersedih dan merasa kecewa, tetapi kita juga harus memutuskan apakah akan menyerah dan hidup dalam penderitaan selamanya? Atau belajar menerima, memutuskan untuk bangkit dan mengubah hidup menjadi lebih baik? Kita sendiri yang memutuskan... !

Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/08/16201121/menjadi.pribadi.yang.sehat.dan.menyenangkan

Tuesday, November 10, 2009

Pemerintah Rancang Jaminan Kesehatan Semesta


JAKARTA--MI: Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan, pihaknya sedang menyiapkan rancangan sistem jaminan kesehatan semesta yang akan mencakup seluruh populasi.

"Kami sedang membuat roadmap Jaminan Kesehatan Semesta 2014," katanya saat melakukan rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta, Senin (9/11), yang dipimpin Ketua Komisi IX Ribka Tjiptaning Proletariati.

Dalam rapat dengar pendapat yang dihadiri 46 anggota komisi itu Endang mengatakan, penyusunan rancangan sistem jaminan kesehatan semesta ditargetkan selesai dalam 100 hari kerja pertamanya.

"Sekarang masih meminta masukan dari para ahli dari universitas dan organisasi profesi terkait untuk menyusun ini," kata Menkes.

Menkes sebelumnya mengatakan, Jamkesmas secara bertahap akan dikelola menggunakan sistem asuransi kesehatan. Asuransi kesehatan, katanya, akan menjangkau seluruh populasi, tidak hanya masyarakat miskin saja.

"Premi masyarakat miskin tetap ditanggung pemerintah, yang bekerja (ditanggung) oleh perusahaan, yang mampu bayar sendiri," kata Endang lagi.

Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Surya Chandra Surapaty mengatakan, pemerintah harus menyelenggarakan jaminan kesehatan dengan sistem yang sesuai dengan undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional.

Menurut undang-undang, ia menjelaskan, pengelolaan jaminan kesehatan nasional harus dilakukan oleh badan nirlaba. Lembaga yang dibentuk oleh pemerintah tersebut, kata dia, sekaligus berfungsi sebagai pengelola dana wali amanah.

Kerangka itu sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang sistem jaminan sosial nasional, namun hingga kini belum bisa dilaksanakan karena Dewan Jaminan Sosial Nasional belum menyelesaikan pembuatan peraturan pendukungnya, yakni undang-undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Peraturan lain yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan SJSN seperti peraturan pemerintah tentang penerima bantuan iuran dan peraturan pemerintah tentang jaminan kesehatan juga belum selesai.

Menurut undang-undang, semua peraturan pendukung pelaksanaan SJSN seharusnya selesai akhir Oktober 2009 dan SJSN sudah bisa dilaksanakan November 2009.

Sumber:
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/11/11/104896/71/14/Pemerintah-Rancang-Jaminan-Kesehatan-Semesta

Friday, August 21, 2009

Jam kerja PNS berkurang selama Ramadhan


Warta - Aceh
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Jam kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Provinsi Aceh berkurang sebanyak dua jam selama Ramadhan 1430 Hijriyah sesuai dengan surat edaran Gubernur Aceh Irwandi Yusuf.

"Meskipun jam kerja berkurang selama Ramadhan, tetapi tidak mengurangi efektivitas kerja," kata Kabag Humas Provinsi Aceh, Nurdin F Joes di Banda Aceh, siang ini.

Selama Ramadhan, PNS di jajaran Pemerintah Aceh masuk lebih lambat satu jam yaitu pada pukul 09.00 WIB dan pulang lebih cepat pada pukul 15.45 WIB.

Sementara pada hari biasa pegawai masuk pada pukul 08.00 WIB dan jam kerja berakhir pada 16.54 WIB.

Lebih lanjut Nurdin mengatakan, selama bulan suci umat Islam tersebut PNS diharapkan tetap beraktivitas seperti biasa di samping memperbanyak ibadah mengisi bulan penuh rahmat.

Namun, menyambut Ramadan tidak diberlakukan cuti bersama karena bertepatan dengan hari terakhir kerja yaitu Jumat, sedang puasa diperkirakan dimulai pada Sabtu, 22 Agustus 2009.

Sementara itu, di jajaran Pemerintah Kota Banda Aceh, jam kerja PNS juga berkurang, yaitu masuk lebih lambat 30 menit dibandingkan hari biasa yaitu pada pukul 08.30 WIB dan jam kerja berakhir pada 15.45 WIB.

Sementara pada hari biasa PNS mulai bekerja pukul 08.00 WIB dan berakhir pada pukul 16.45 WIB. Sedangkan pada Jumat jam kerja berakhir pada pukul 15.30 WIB.
(dat01/ann)

Thursday, July 2, 2009

Yogyakarta Waspadai Kedatangan Wisatawan dari Bali

Kamis, 02 Juli 2009 17:38 WIB
Penulis : Sulistio

YOGYAKARTA--MI: Pengawasan kedatangan wisatawan di Yogyakarta mulai diperketat untuk meminimalisasi penyebaran virus flu babi.

Pengetatan pengawasan lalu lintas wisatawan itu menyusul ditetapkannya status kejadian luar biasa (KLB) Flu Babi di Bali. Wisatawan yang datang dari Bali diwaspadai, apalagi alat thermo scanner

"Thermoscanner untuk terminal kedatangan domestik belum ada. Jadi kedatangan wisatawan yang datang dari Bali harus diwaspadai," kata Ketua Satuan Tugas (Satgas) Flu Babi dan Flu Burung Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sumarto, Kamis (2/7).

Oleh karena itu, pengelola hotel di Yogyakarta juga dimintai mewaspadai penularan virus flu babi yang dibawa oleh tamu yang menginap dan memiliki riwayat datang dari negara yang sudah terjangkit virus flu babi.

Sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2009/07/07/83260/124/101/

"Persediaan obat tamiflu untuk virus flu babi saat ini masih mencukupi. Obat tamiflu itu diberikan kepada pasien suspect flu babi kurang dari 48 jam," katanya.

Sementara Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY Istidjab mengatakan, pihaknya belum melakukan upaya apapun terkait dengan ancaman penyebaran virus flu babi. Pihak perhotelan juga belum mendapat petunjuk teknis resmi untuk mengantisipasi penyebaran virus flu babi tersebut.

Tangkal Flu Babi, Beijing Tutup Sekolah Dasar

Kamis, 02 Juli 2009

BEIJING--MI: Sebuah sekolah dasar di Beijing ditutup setelah tujuh pelajarnya diketahui mengidap flu A/H1N1, demikian diumumkan biro kesehatan kotamadya Beijing.

"Sebanyak 16 pelajar di Sekolah Dasar Nanhu Zhongyuan di Distrik Chaoyang dilaporkan memiliki gejala demam dan tujuh di antaranya didiagnosa tertular flu A/H1N1," sebut biro itu seperti dikutip Xinhua di Beijing, Kamis (2/7).

Total pelajar sebanyak 154 orang. Guru dan orang tua yang melakukan kontak dengan tujuh pelajar tersebut saat ini dalam pengawasan.

Sebanyak 18 pelajar sebelumnya tidak masuk kelas sejak Senin dan 12 orang di antaranya yang berasal dari empat kelas di kelas dua mengalami gejala demam. Sementara empat pelajar diketahui mengalami sakit pada hari berikutnya. Hasil pemeriksaan kesehatan masih belum dikeluarkan.

"Pihak kesehatan saat ini melacak sumber virus A/H1N1," kata Fang Laiying, Direktur Biro Kesehatan Kotamadya Beijing. Tapi, katanya, para pelajar masih terlalu muda untuk mengingat secara jelas seluruh tempat yang mereka pernah kunjungi sebelum mereka tertular flu.

Sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2009/07/07/83179/39/6/

Thursday, June 25, 2009

SIMKESPEL : Breaking News Kewaspadaan Terhadap Flu Baru H1N1

25 Juni 2009

Yth,

Kepala KKP Kelas I, II, III

se Indonesia

Sehubungan dengan pengumuman Ibu Menteri Kesehatan dalam jumpa pers bahwa Indonesia telah ada 2 kasus HlNl (baru) (+) yg merupakan kasus yang tertular di luar negeri, maka saya sampaikan beberapa ha1 sbb :

  • saat ini penyakit ini telah ada di 99 negara/teritory/area, jumlah Kasus 52.168 org dan kematian 231 orang
  • 5 negara dengan jumlah kasus terbanyak di dunia adalah: Amerika Serikat (21.449); Mexico (7624); Canada (5710); Chili (4315) dan Inggris (2506)
  • Terdapat 11 Negara yang melaporkan kematian. Columbia (1,67%); Mexico (1,48%) ; Rep Dominika (1,07%) Argentina (0,69%) ; Costa Rica (0,67%); Guatemala (0,48%); USA (0,40%); Canada (0,23%) ; Chili (0,09%) ; Inggris (0,04% dan Australia (0,04%) .Angka kematian (case fatality rate) dunia secara keseluruhan adalah 0,4 %, artinya 99,6% pasien sembuh dengan baik.
  • selain lebih dari 99% (99,6%) pasien penyakit baru ini dapat sembuh, maka 92% sampai 95% pasien bahkan sembuh tanpa memerlukan perawatan rumah sakit sama sekali
  • untuk Indonesia, pada awal penyakit ini timbul di dunia (belum masuk Indonesia) maka Departemen Kesehatan sudah mengambil 6 langkah yaitu :
  1. Penjagaan di kantor2 kesehatan pelabuhan
  2. Penyiapan RS
  3. Penyiapan sarana dan kemampuan diagnosis
  4. Penyiapan logistik seperti obat2an dl1
  5. Menggiatkan Surveilans ILI
  6. Kegiatan KIE.

Dengan telah masuknya kasus H1N1 baru ke Indonesia maka Departemen Kesehatan langsung melakukan 8 langkah berikut ini:

  1. Meningkatkan kewaspadaan seluruh jajaran kesehatan, hari ini dikeluarkan surat edaran Menteri Kesehatan ke seluruh Gubernur dan surat edaran Direktur Jenderal P2PL ke seluruh KaDinKes, Kantor Kesehatan Pelabuhan dll.
  2. Makin mengaktifkan kegiatan di Kantor Kesehatan Pelabuhan antara lain dengan pernbagian poster, menambah jumlah thermal scanner, informasi dll.
  3. Meningkatkan surveillanve Influenza Iike illness (ILI) dengan laporan mingguan berkala
  4. Meningkatkan logistik dalam bentuk penambahan Alat Pelindung Diri (APD) dan obat2an
  5. Meningkatkan terus kemampuan dan kewaspadaan petugas kesehatan di 100 RS rujukan
  6. Menambah kemampuan diagnostik laboratorium dengan penambahan primer dan pengiriman media
  7. Meningkatkan gerak langkah penanggulangan dengan memberikan berbagai pedoman penanggulangan pandemi iqfluenza ke Dinas Kesehatan di Indonesia
  8. Meningkatkan kegiatan Komunikasi Informasi Edukasi ke masyarakat dengan menyiapkan poster (ttg CTPS serta gejala Flu), jumpa pers Menteri Kesehatan, informasi di website www.depkes.go.id dan www.penyakitmenular.info serta sarana informasi di Posko KLB DitJen P2PL DepKes RI (sms gateway 081318139990, tel 0214257125, fax 02142877588, email poskoklbp2pl@yahoo.com

Prof Tjandra Yoga Aditama

Direktur Jenderal P2PL Departemen Kesehatan RI

Foto Kantor

Foto Kantor

MANTAN-MANTAN KEPALA KKP MEDAN