Tuesday, December 8, 2009

PROBLEMATIKA LOGISTIK OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN: TINJAUAN ATAS POTENSI TERJADINYA KORUPSI DI SEKTOR KESEHATAN DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Pembahasan tentang Problematika Logistik Obat dan Perbekalan Kesehatan dalam bingkai analisis “Supply dan Quality Assurance[1] akan tuntas dibahas dengan pendekatan teori-teori perencanaan, pengadaan, distribusi, dan penggunaan obat dan perbekalan kesehatan. Demikian juga tentang Quality Assurance. Ketentuan GMP (Good Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices) – yang jika dijalankan secara konsisten - akan dengan mudah meneguhkan kondisi terjaminannya kualitas, khasiat, dan keamanan produk obat dan perbekalan kesehatan sampai ke tangan pengguna.

Namun, ketika Transparency International mengeluarkan Global Corruption Report 2006 dengan special focus: “Corruption and Health” serta dari data-data aktual yang ada, pembahasan tentang problematika logistik dan perbekalan kesehatan ternyata tidak lagi sesederhana problematika penatalaksanaan Supply dan Quality Assurance saja. Dibalik itu semua ada “pasar masalah”[2] yang potensial menjadi awal terjadinya suap menyuap dan korupsi dalam pengadaan obat dan perbekalan kesehatan di Indonesia, khususnya di sektor pemerintah.


Karakteristik yang unik dari pelayanan kesehatan dan obat – yang pada gilirannya menimbulkan kekhususan dalam perencanaan, pengadaan, distribusi, dan penggunaannya – memberikan kontribusi yang signifikan dalam membentuk regulasi yang ketat yang pada dasarnya bertujuan untuk menjamin keamanan dan keselamatan penggunanya (pasien), namun sekaligus menciptakan ruang yang leluasa untuk menciptakan “masalah” yang selanjutnya bertransformasi menjadi peluang terjadinya korupsi dan penyuapan.

Korupsi dan penyuapan di sektor kesehatan, khususnya dalam logistik obat dan perbekalan kesehatan, mempunyai magnitude dan dampak yang jauh lebih besar dan meluas ketimbang hal yang sama di sektor lain. Implikasinya langsung kepada kesehatan masyarakat, nyawa manusia dan hak warga negara dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang terjangkau dan memadai.

Dengan asumsi atas magnitude dan implikasi yang besar dan meluas inilah maka pembahasan korupsi dan penyuapan dalam logistik obat dan perbekalan kesehatan ini menjadi penting. Namun, agar pembahasan tidak terfokus atau malah meluas menjadi pembahasan hukum, maka kajian dalam makalah ini akan dibatasi hanya pada potensi penyebab terjadinya korupsi dan penyuapan, implikasinya serta pembenahan yang harus dilakukan oleh komunitas kesehatan agar tujuan mulia dari pembangunan kesehatan dapat terwujud.


KORUPSI, SUAP DAN GRATIFIKASI DI SEKTOR KESEHATAN

Pengertian korupsi berasal dari bahasa latin corruptio, corrumpere, yang secara harfiah berarti: kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian[3]. Dalam pengertian hukum positif, pengertian korupsi[4], suap[5] dan gratifikasi[6] dapat dilihat dalam berbagai undang-undang tentang tindak pidana korupsi yang digunakan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Substansinya adalah, jika dilihat dari sitem nilai, maka korupsi, suap dan gratifikasi merupakan perbuatan yang sangat tercela yang seharusnya tidak layak dilakukan oleh siapapun, dalam keadaan apapun dan karena sebab apapun. Sehingga hukum positif di Indonesia menempatkannya dalam klasifikasi “extraordinary crime“, yang karena pelaku dan proses perbuatannya dilakukan oleh orang-orang yang “terpilih“ (karena jabatannya) dan dengan cara-cara yang “canggih“, maka pemberantasannya juga dilakukan dengan cara-cara yang “luar biasa“.

Indonesia Corruption Watch dalam press release 21 November 2008 menyampaikan kajiannya yang mengungkapkan sampai dengan tahun 2008 telah dilakukan pengusutan terhadap 51 kasus korupsi di lingkungan kesehatan yang menimbulkan kerugian negara Rp 128 milyar. Kasus terbanyak adalah pengadaan barang dan jasa dengan modus mark up (22 kasus, kerugian negara Rp 103 milyar), yang umumnya melibatkan Kepala Dinas Kesehatan (KaDinkes) dan Direktur rumah sakit.

Sekedar perbandingan, laporan Transparency International (TI) 2006 mengungkapkan terjadinya korupsi sektor kesehatan di Kamboja. Di negara ini, korupsi sektor kesehatan menjadi penyebab mengapa investasi di bidang kesehatan tidak mampu memberikan hasil yang optimal kepada derajat kesehatan masyarakatnya. Dari penelitian yang dilakukan TI tahun 2005, terungkap bahwa korupsi terjadi di setiap level dalam sistem kehatannya. Bahkan sekitar 5 sampai 10 persen anggaran kesehatan negara tersebut sudah menguap sebelum diserahkan kepada Departemen Kesehatan dan seterusnya secara berturut juga menguap ketika anggaran kesehatan disalurkan ke tingkat provinsi, kabupaten, rumah sakit bahkan sampai ke klinik.

Jika kondisi di Kamboja diekstrapolasi ke dalam kondisi di Indonesia, layak diduga hasil pantauan ICW atas kerugian negara yang besarnya “cuma“ Rp 128 milyar pada dasarnya hanya merupakan “puncak gunung es“ dari besaran korupsi yang terjadi di sektor kesehatan di Indonesia.


KARAKTERISTIK SISTEM KESEHATAN DAN PELUANG KORUPSI

Transparency International (TI) menyoroti karakteristik yang ada dalam sistem kesehatan yang menyebabkan terbukanya peluang dan potensi terjadinya korupsi, antara lain[7]: a. An Imbalance of information

Karakteristik ini memperlihatkan adanya pengetahuan yang tidak seimbang antara tenaga kesehatan dengan pasien. Demikian juga pengetahuan dan informasi yang dimiliki perusahaan obat dan perbekalan kesehatan. Mereka lebih tahu dan menguasainya ketimbang pegawai negeri yang bertugas dan mempunyai kewenangan penggunaan anggaran kesehatan (Pimpinan Proyek, Kuasa Pengguna Anggaran, Panitia Pengadaan Barang dan Jasa, dan lain-lain). Sebaliknya, ketersediaan informasi tentang harga dan spesifikasi produk serta transparansi proses pengadaan barang dan jasa di sektor kesehatan ternyata mampu menekan terjadinya korupsi[8].

b. The uncertainty in health market

Sulit dipastikan (dan tidak seorangpun pernah berharap) kapan akan sakit, suatu daerah terkena wabah atau apa penyakit/ wabah yang akan diderita dan seefektif apa sebenarnya obat dan perbekalan kesehatan tersedia. Ketidakpastian ini menjadi salah satu penyebab munculnya peluang terjadinya korupsi. Pada kondisi tertentu, situasi yang dianggap “darurat” dapat menyebabkan pejabat pemerintah yang berwenang melakukan diskresi untuk pengadaan barang dan jasa yang tidak mengikuti ketentuan yang ada.

c. The complexity of health system

Proses pengadaan barang dan jasa di sektor kesehatan melibatkan kelompok besar “pemain” yang saling jalin menjalin, sehingga mempersulit analisa informasi tentang obat dan perbekalan kesehatan. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan sulitnya mewujudkan transparansi, upaya deteksi kemungkinan adanya penyimpangan dan tindakan pencegahan korupsi. Hubungan dan “keterkaitan kepentingan” antara rekanan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan dengan penyedia pelayanan kesehatan dan pengambil keputusan (pejabat pemerintah) seringkali “terasa ada, terkatakan tidak”.


Pejabat pemerintah, penyedia dan pelaksana pelayanan kesehatan (rumah sakit, dokter), rekanan (supplier) dan masyarakat menghadapi bauran insentif yang kompleks yang memicu terjadinya korupsi dalam berbagai macam bentuk. TI menggambarkan berbagai bentuk korupsi di sektor kesehatan sebagai berikut:

a. Embezzelement and Theft

Bentuk penggelapan anggaran kesehatan ini dapat terjadi di lingkungan pejabat pemerintah pusat maupun daerah atau di berbagai titik dimana anggaran tersebut dialokasikan (pengadaan barang dan jasa di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kota, rumah sakit, puskesmas dan seterusnya). Bentuk korupsi lainnya adalah pencurian terhadap logistik obat dan perbekalan kesehatan di berbagai lapisan pelayanan kesehatan, serta digunakannya peralatan medis milik pemerintah untuk kepentingan pribadi dan atau untuk praktik swasta.

b. Corruption in procurrement

Adanya kolusi, suap dan kickbacks dalam pengadaan barang dan jasa di sektor kesehatan pemerintah menyebabkan terjadinya penggelembungan anggaran, atau sebaliknya menyebabkan logistik obat dan perbekalan kesehatan yang diprogramkan tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Di pihak lain, seringkali perencanaan dan investasi infrastruktur di lingkungan rumah sakit menghabiskan dana yang sangat besar dan peralatan medis berteknologi tinggi yang rawan korupsi.

c. Corruption in payment system

Praktik korupsi juga mencakup manipulasi dan pemalsuan dokumen asuransi untuk kepentingan pasien tertentu, tagihan biaya perawatan yang tidak sah, manipulasi penggunaan obat dan alat kesehatan, memasukkan biaya perawatan pasien yang tidak dicakup oleh asuransi ke dalam cakupan asuransi dan pembiayaan atas pasien, obat dan alat kesehatan fiktif.

d. Corruption in the pharmaceutical chain

Pengadaan dan penggunaan obat dan sediaan farmasi di sarana pelayanan kesehatan pemerintah menempati posisi yang sangat rawan bagi terjadinya praktik korupsi. Bentuknya dapat berupa pelanggaran etika pemasaran obat dengan memberikan insentif tertentu kepada institusi rumah sakit (untuk obat yang masuk dalam formularium rumah sakit) dan atau dokter (untuk prilaku peresepan yang menimbulkan insentif).

e. Corruption at the point of health service delivery

Bentuk korupsinya bermacam-macam, seperti memberi atau menerima pembayaran “under-the-table” untuk pelayanan kesehatan yang seharusnya gratis, meminta pembayaran dengan menawarkan perawatan dan pelayanan yang khusus serta memberi atau menerima suap untuk kepentingan keluarnya izin, akreditasi dan sertifikasi bagi fasilitas pelayanan kesehatan.

Dalam tindak pidana korupsi di sektor kesehatan, TI menengarai adanya lima aktor kunci yang karena penyalahgunaan kewenangan, tanggung jawab serta “moral hazard”nya dapat menimbulkan korupsi, yaitu: (1). Regulators (Pejabat Departemen Kesehatan, Anggota Parlemen, dan Supervisory commisions); (2). Payers (Organisasi Jaminan Sosial, Asuransi Kesehatan); (3). Health care providers (Rumah sakit, dokter, apoteker, paramaedis); (4). Patients; dan (5). Suppliers (produsen peralatan medis dan perbekalan kesehatan serta perusahaan farmasi.

POTENSI KORUPSI DI SEKTOR KESEHATAN DI INDONESIA

Dalam konteks terjadinya korupsi di sektor kesehatan di Indonesia, mengutip hasil kajian yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Laporan Tahunan 2008, Sistem Perencanaan dan Penyusunan Anggaran di Dewan perwakilan Rakyat (DPR) dapat berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi. Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2004 tentang Penyusunan RKA-KL (Rencana Kegiatan Anggaran Kementerian/ Lembaga) sebagai turunan dari UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, memberikan perbedaan yang signifikan dalam siklus perencanaan penganggaran APBN saat ini dengan era sebelumnya. Saat ini, dalam melaksanakan fungsi penganggaran dan pengawasannya, anggota DPR terlibat aktif dalam proses perencanaan dan penganggaran APBN, dalam hal ini perencanaan dan penganggaran APBN di bidang kesehatan. KPK menemukan beberapa kendala akibat kondisi ini, yaitu[9]:

1. Potensi tindak pidana korupsi pada proses perencanaan dan penganggaran

  • Pembahasan DPR sampai pada satuan terkecil kegiatan, sehingga membuka peluang terjadinya konflik kepentingan anggota DPR terhadap kegiatan tersebut

  • Kurangnya transparansi dengan sering dilakukannya rapat secara tertutup

2. Kelemahan proses kerja

  • Kurangnya efisiensi dan efektifitas rapat

  • Adanya anggota DPR yang duduk pada beberapa alat kelengkapan

  • DPR melakukan pembahasan anggaran secara berulang dalam satu siklus

3. Kelemahan kelembagaan


  • Kurangnya dukungan terhadap proses analisa oleh anggota DPR

    Terlalu banyaknya ruang lingkup dan pasangan kerja Komisi DPR

Potensi terjadinya korupsi di sektor kesehatan juga dapat terjadi di kementerian dan lembaga negara sebagai Pengguna Anggaran yang mewujudkannya dalam bentuk berbagai program dan proyek pengadaan barang dan jasa. Potensi korupsi dapat terjadi di semua level, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/ kota sampai dengan rumah sakit.

Pada dasarnya pemerintah telah mengatur pengadan logistik obat dan perbekalan kesehatan di sektor pemerintah melalui Keppres Nomor 80 tahun 2003 yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Perpres Nomor 95 tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Namun tetap saja peluang terjadinya korupsi dapat terjadi, utamanya berkisar di dua aspek, yaitu administrasi dan teknis.

Dalam masalah administrasi, metode pengadaan barang dan jasa dapat menjadi sumber potensial terjadinya korupsi, apakah dalam bentuk Tender maupun Penunjukan Langsung.

Alasan keterbatasan waktu, kedaruratan dan gagalnya proses tender dapat menjadi pilihan untuk tetap dilaksanakannya proyek pengadaan barang dan jasa dengan metode Penunjukan Langsung.

Dalam aspek teknis, penentuan spesifikasi teknis yang seharusnya menjadi kewenangan mutlak Pengguna Anggaran, namun akibat ”imbalance information” dan pengetahuan teknis pelaksana proyek terhadap produk obat dan perbekalan kesehatan yang relatif kurang, menyebabkan ketergantungan pada informasi dan data teknis dari rekanan menjadi sangat tinggi. Adanya kerjasama dalam penentuan spesifikasi teknis ini merupakan salah satu titik krusial terjadinya tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa di sektor kesehatan.

Titik krusial lainnya adalah dalam penetapan Harga Perhitungan Sendiri (HPS)/ Owner Estimate (OE). Untuk mendapatkan hasil pengadaan barang, dalam hal ini logistik obat dan perbekalan kesehatan yang menguntungkan negara dengan kualitas barang yang dapat dipertanggungjawabkan, maka HPS harus dilakukan secara benar, berdasarkan informasi harga pada pasar yang bersaing, perhitungan pajak yang tepat dan biaya-biaya lainnya yang terkait langsung dengan pengadaan barang.

Pentingnya kredibilitas dan independensi Pengguna Anggaran dalam penentuan spesifikasi teknis dan HPS/ OE merupakan syarat mutlak terselenggaranya pengadaan logistik obat dan perbekalan kesehatan yang akuntabel. Kedua aspek ini mempunyai peran strategis sebagai alat kontrol kualitas barang serta kewajaran harga yang ditawarkan rekanan.

Potensi korupsi lainnya yang sampai hari ini belum tersentuh upaya pemberantasan korupsi adalah gratifikasi dalam pengadaan obat di rumah sakit (penentuan jenis dan merek obat dalam formularium rumah sakit) dan insentif yang diberikan perusahaan farmasi kepada dokter atas jasanya menuliskan resep untuk obat-obat produksi perusahaan farmasi tersebut.

Jika gratifikasi dan insentif ini terjadi di sarana pelayanan kesehatan swasta, mungkin ketentuan tentang pemberantasan korupsi akan sulit menyentuhnya. Yang jadi masalah adalah jika penentuan formularium rumah sakit dan kolusi peresepan obat dengan perusahaan farmasi dilakukan di rumah sakit pemerintah dan oleh dokter PNS yang berpraktik di sana. Gratifikasi dan insentif ini merupakan praktik korupsi yang ”aromanya” tercium di hampir seluruh rumah sakit pemerintah di Indonesia.

PEMBERANTASAN KORUPSI DI SEKTOR KESEHATAN: HARAPAN KE DEPAN


Pada tahun 2000, IPK Indonesia masih berada pada angka 1,7, yaitu angka yang mencerminkan bahwa Indonesia termasuk kelompok negara paling korup di dunia. Pada tahun 2006 terjadi perbaikan dimana IPK Indonesia naik menjadi 2,4. Data yang dikeluarkan Transparency International menyebutkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2008 meningkat menjadi 2,6 dari 2,3 di tahun 2007. Turunnya tindak pidana korupsi di Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari gencarnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, khususnya oleh KPK.


Pada tahun 2009 dan ke depan, upaya pemberantasan korupsi di sektor kesehatan di Indonesia layak diduga akan lebih gencar dilakukan, baik oleh Kejaksaan maupun KPK.


Memberantas prilaku dan budaya korupsi memang bukanlah hal yang mudah. Di sektor kesehatan, karakteristik yang unik dan ”canggih” dari logistik obat dan perbekalan kesehatan serta pengadaaanya sering dijadikan justififikasi terhadap peyimpangan prosedur dan prilaku koruptif.


Upaya pemberantasan korupsi di sektor kesehatan membutuhkan komitmen dan kesadaran kolektif dari seluruh pemangku kepentingan. Kesadaran bahwa korupsi yang dilakukan di sektor kesehatan akan menimbulkan dampak berantai dan berkelanjutan bagi kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat akan menjadi benteng hati nurani bagi pejabat di institusi kesehatan pemerintah untuk tidak melakukan korupsi, menerima suap dan gratifikasi.


Dalam sebuah obrolan serius bersama teman-teman panitia pengadaan barang dan jasa di lingkungan Departemen Kesehatan penulis pernah ”memprovokasi” mereka dengan mengatakan bahwa spirit dan konstruksi peraturan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang mereka jadikan acuan sebenarnya bukanlah untuk melindungi mereka sebagai panitia, namun lebih cenderung melindungi atasan mereka. Jika terjadi indikasi dan dugaan tindak pidana korupsi, merekalah yang pertama sekali menjadi sasaran. Dengan terkejut mereka mengatakan: ”Apa yang harus kami lakukan?”


Saya mengatakan:

  1. Catat setiap perintah, arahan atasan dan poin penting dalam notulensi rapat di buku harian. Demikian juga setiap lobby, approach dan preferensi atasan terhadap rekanan harus diingat, dicatat dan kalau perlu direkam.

  2. Simpan semua dokumen berkenaan pengadaan barang dan jasa dan siapkan copynya untuk arsip pribadi jika dibutuhkan dikemudian hari.

Di pihak lain, ketika mengobrol dengan Pejabat Eselon 3, Eselon 2 dan Eselon 1, saya mengatakan bahwa pada saat ini dan ke depan mereka harus lebih berhati-hati dalam proses pengadaan barang dan jasa, khususnya untuk logistik obat dan perbekalan kesehatan karena staf dan bawahan mereka telah melakukan langkah-langkah seperti yang saya sarankan di atas. Para pejabat tersebut bertanya: ”Mengapa harus demikian?”

Saya menjawab: ”Sama seperti Bapak-bapak, staf dan bawahan Bapak di panitia pengadaan barang dan jasa juga tidak mau anaknya mempunyai orangtua Koruptor”.


Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, SH, MM, MH


  • Pakar Hukum Kesehatan dan Farmasi

  • Ketua Komite Advokasi dan Bantuan Hukum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi).
Sumber: http://www.hukor.depkes.go.id/?art=33

Foto Kantor

Foto Kantor

MANTAN-MANTAN KEPALA KKP MEDAN