PENDAHULUAN
Namun, ketika Transparency International mengeluarkan Global Corruption Report 2006 dengan special focus: “Corruption and Health” serta dari data-data aktual yang ada, pembahasan tentang problematika logistik dan perbekalan kesehatan ternyata tidak lagi sesederhana problematika penatalaksanaan Supply dan Quality Assurance saja. Dibalik itu semua ada “pasar masalah”[2] yang potensial menjadi awal terjadinya suap menyuap dan korupsi dalam pengadaan obat dan perbekalan kesehatan di Indonesia, khususnya di sektor pemerintah.
Karakteristik yang unik dari pelayanan kesehatan dan obat – yang pada gilirannya menimbulkan kekhususan dalam perencanaan, pengadaan, distribusi, dan penggunaannya – memberikan kontribusi yang signifikan dalam membentuk regulasi yang ketat yang pada dasarnya bertujuan untuk menjamin keamanan dan keselamatan penggunanya (pasien), namun sekaligus menciptakan ruang yang leluasa untuk menciptakan “masalah” yang selanjutnya bertransformasi menjadi peluang terjadinya korupsi dan penyuapan.
Dengan asumsi atas magnitude dan implikasi yang besar dan meluas inilah maka pembahasan korupsi dan penyuapan dalam logistik obat dan perbekalan kesehatan ini menjadi penting. Namun, agar pembahasan tidak terfokus atau malah meluas menjadi pembahasan hukum, maka kajian dalam makalah ini akan dibatasi hanya pada potensi penyebab terjadinya korupsi dan penyuapan, implikasinya serta pembenahan yang harus dilakukan oleh komunitas kesehatan agar tujuan mulia dari pembangunan kesehatan dapat terwujud.
KORUPSI, SUAP DAN GRATIFIKASI DI SEKTOR KESEHATAN
Indonesia Corruption Watch dalam press release 21 November 2008 menyampaikan kajiannya yang mengungkapkan sampai dengan tahun 2008 telah dilakukan pengusutan terhadap 51 kasus korupsi di lingkungan kesehatan yang menimbulkan kerugian negara Rp 128 milyar. Kasus terbanyak adalah pengadaan barang dan jasa dengan modus mark up (22 kasus, kerugian negara Rp 103 milyar), yang umumnya melibatkan Kepala Dinas Kesehatan (KaDinkes) dan Direktur rumah sakit.
Jika kondisi di Kamboja diekstrapolasi ke dalam kondisi di Indonesia, layak diduga hasil pantauan ICW atas kerugian negara yang besarnya “cuma“ Rp 128 milyar pada dasarnya hanya merupakan “puncak gunung es“ dari besaran korupsi yang terjadi di sektor kesehatan di Indonesia.
KARAKTERISTIK SISTEM KESEHATAN DAN PELUANG KORUPSI
Karakteristik ini memperlihatkan adanya pengetahuan yang tidak seimbang antara tenaga kesehatan dengan pasien. Demikian juga pengetahuan dan informasi yang dimiliki perusahaan obat dan perbekalan kesehatan. Mereka lebih tahu dan menguasainya ketimbang pegawai negeri yang bertugas dan mempunyai kewenangan penggunaan anggaran kesehatan (Pimpinan Proyek, Kuasa Pengguna Anggaran, Panitia Pengadaan Barang dan Jasa, dan lain-lain). Sebaliknya, ketersediaan informasi tentang harga dan spesifikasi produk serta transparansi proses pengadaan barang dan jasa di sektor kesehatan ternyata mampu menekan terjadinya korupsi[8].
Sulit dipastikan (dan tidak seorangpun pernah berharap) kapan akan sakit, suatu daerah terkena wabah atau apa penyakit/ wabah yang akan diderita dan seefektif apa sebenarnya obat dan perbekalan kesehatan tersedia. Ketidakpastian ini menjadi salah satu penyebab munculnya peluang terjadinya korupsi. Pada kondisi tertentu, situasi yang dianggap “darurat” dapat menyebabkan pejabat pemerintah yang berwenang melakukan diskresi untuk pengadaan barang dan jasa yang tidak mengikuti ketentuan yang ada.
Proses pengadaan barang dan jasa di sektor kesehatan melibatkan kelompok besar “pemain” yang saling jalin menjalin, sehingga mempersulit analisa informasi tentang obat dan perbekalan kesehatan. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan sulitnya mewujudkan transparansi, upaya deteksi kemungkinan adanya penyimpangan dan tindakan pencegahan korupsi. Hubungan dan “keterkaitan kepentingan” antara rekanan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan dengan penyedia pelayanan kesehatan dan pengambil keputusan (pejabat pemerintah) seringkali “terasa ada, terkatakan tidak”.
Pejabat pemerintah, penyedia dan pelaksana pelayanan kesehatan (rumah sakit, dokter), rekanan (supplier) dan masyarakat menghadapi bauran insentif yang kompleks yang memicu terjadinya korupsi dalam berbagai macam bentuk. TI menggambarkan berbagai bentuk korupsi di sektor kesehatan sebagai berikut:
Bentuk penggelapan anggaran kesehatan ini dapat terjadi di lingkungan pejabat pemerintah pusat maupun daerah atau di berbagai titik dimana anggaran tersebut dialokasikan (pengadaan barang dan jasa di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kota, rumah sakit, puskesmas dan seterusnya). Bentuk korupsi lainnya adalah pencurian terhadap logistik obat dan perbekalan kesehatan di berbagai lapisan pelayanan kesehatan, serta digunakannya peralatan medis milik pemerintah untuk kepentingan pribadi dan atau untuk praktik swasta.
Adanya kolusi, suap dan kickbacks dalam pengadaan barang dan jasa di sektor kesehatan pemerintah menyebabkan terjadinya penggelembungan anggaran, atau sebaliknya menyebabkan logistik obat dan perbekalan kesehatan yang diprogramkan tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Di pihak lain, seringkali perencanaan dan investasi infrastruktur di lingkungan rumah sakit menghabiskan dana yang sangat besar dan peralatan medis berteknologi tinggi yang rawan korupsi.
Praktik korupsi juga mencakup manipulasi dan pemalsuan dokumen asuransi untuk kepentingan pasien tertentu, tagihan biaya perawatan yang tidak sah, manipulasi penggunaan obat dan alat kesehatan, memasukkan biaya perawatan pasien yang tidak dicakup oleh asuransi ke dalam cakupan asuransi dan pembiayaan atas pasien, obat dan alat kesehatan fiktif.
Pengadaan dan penggunaan obat dan sediaan farmasi di sarana pelayanan kesehatan pemerintah menempati posisi yang sangat rawan bagi terjadinya praktik korupsi. Bentuknya dapat berupa pelanggaran etika pemasaran obat dengan memberikan insentif tertentu kepada institusi rumah sakit (untuk obat yang masuk dalam formularium rumah sakit) dan atau dokter (untuk prilaku peresepan yang menimbulkan insentif).
Bentuk korupsinya bermacam-macam, seperti memberi atau menerima pembayaran “under-the-table” untuk pelayanan kesehatan yang seharusnya gratis, meminta pembayaran dengan menawarkan perawatan dan pelayanan yang khusus serta memberi atau menerima suap untuk kepentingan keluarnya izin, akreditasi dan sertifikasi bagi fasilitas pelayanan kesehatan.
POTENSI KORUPSI DI SEKTOR KESEHATAN DI INDONESIA
1. Potensi tindak pidana korupsi pada proses perencanaan dan penganggaran
- Pembahasan DPR sampai pada satuan terkecil kegiatan, sehingga membuka peluang terjadinya konflik kepentingan anggota DPR terhadap kegiatan tersebut
- Kurangnya transparansi dengan sering dilakukannya rapat secara tertutup
- Kurangnya efisiensi dan efektifitas rapat
- Adanya anggota DPR yang duduk pada beberapa alat kelengkapan
- DPR melakukan pembahasan anggaran secara berulang dalam satu siklus
3. Kelemahan kelembagaan
Kurangnya dukungan terhadap proses analisa oleh anggota DPR
Terlalu banyaknya ruang lingkup dan pasangan kerja Komisi DPR
Pada dasarnya pemerintah telah mengatur pengadan logistik obat dan perbekalan kesehatan di sektor pemerintah melalui Keppres Nomor 80 tahun 2003 yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Perpres Nomor 95 tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Namun tetap saja peluang terjadinya korupsi dapat terjadi, utamanya berkisar di dua aspek, yaitu administrasi dan teknis.
Alasan keterbatasan waktu, kedaruratan dan gagalnya proses tender dapat menjadi pilihan untuk tetap dilaksanakannya proyek pengadaan barang dan jasa dengan metode Penunjukan Langsung.
Titik krusial lainnya adalah dalam penetapan Harga Perhitungan Sendiri (HPS)/ Owner Estimate (OE). Untuk mendapatkan hasil pengadaan barang, dalam hal ini logistik obat dan perbekalan kesehatan yang menguntungkan negara dengan kualitas barang yang dapat dipertanggungjawabkan, maka HPS harus dilakukan secara benar, berdasarkan informasi harga pada pasar yang bersaing, perhitungan pajak yang tepat dan biaya-biaya lainnya yang terkait langsung dengan pengadaan barang.
Potensi korupsi lainnya yang sampai hari ini belum tersentuh upaya pemberantasan korupsi adalah gratifikasi dalam pengadaan obat di rumah sakit (penentuan jenis dan merek obat dalam formularium rumah sakit) dan insentif yang diberikan perusahaan farmasi kepada dokter atas jasanya menuliskan resep untuk obat-obat produksi perusahaan farmasi tersebut.
PEMBERANTASAN KORUPSI DI SEKTOR KESEHATAN: HARAPAN KE DEPAN
Pada tahun 2000, IPK Indonesia masih berada pada angka 1,7, yaitu angka yang mencerminkan bahwa Indonesia termasuk kelompok negara paling korup di dunia. Pada tahun 2006 terjadi perbaikan dimana IPK Indonesia naik menjadi 2,4. Data yang dikeluarkan Transparency International menyebutkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2008 meningkat menjadi 2,6 dari 2,3 di tahun 2007. Turunnya tindak pidana korupsi di Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari gencarnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, khususnya oleh KPK.
Pada tahun 2009 dan ke depan, upaya pemberantasan korupsi di sektor kesehatan di Indonesia layak diduga akan lebih gencar dilakukan, baik oleh Kejaksaan maupun KPK.
Memberantas prilaku dan budaya korupsi memang bukanlah hal yang mudah. Di sektor kesehatan, karakteristik yang unik dan ”canggih” dari logistik obat dan perbekalan kesehatan serta pengadaaanya sering dijadikan justififikasi terhadap peyimpangan prosedur dan prilaku koruptif.
Upaya pemberantasan korupsi di sektor kesehatan membutuhkan komitmen dan kesadaran kolektif dari seluruh pemangku kepentingan. Kesadaran bahwa korupsi yang dilakukan di sektor kesehatan akan menimbulkan dampak berantai dan berkelanjutan bagi kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat akan menjadi benteng hati nurani bagi pejabat di institusi kesehatan pemerintah untuk tidak melakukan korupsi, menerima suap dan gratifikasi.
Dalam sebuah obrolan serius bersama teman-teman panitia pengadaan barang dan jasa di lingkungan Departemen Kesehatan penulis pernah ”memprovokasi” mereka dengan mengatakan bahwa spirit dan konstruksi peraturan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang mereka jadikan acuan sebenarnya bukanlah untuk melindungi mereka sebagai panitia, namun lebih cenderung melindungi atasan mereka. Jika terjadi indikasi dan dugaan tindak pidana korupsi, merekalah yang pertama sekali menjadi sasaran. Dengan terkejut mereka mengatakan: ”Apa yang harus kami lakukan?”
Saya mengatakan:
- Catat setiap perintah, arahan atasan dan poin penting dalam notulensi rapat di buku harian. Demikian juga setiap lobby, approach dan preferensi atasan terhadap rekanan harus diingat, dicatat dan kalau perlu direkam.
- Simpan semua dokumen berkenaan pengadaan barang dan jasa dan siapkan copynya untuk arsip pribadi jika dibutuhkan dikemudian hari.
Saya menjawab: ”Sama seperti Bapak-bapak, staf dan bawahan Bapak di panitia pengadaan barang dan jasa juga tidak mau anaknya mempunyai orangtua Koruptor”.
Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, SH, MM, MH
- Pakar Hukum Kesehatan dan Farmasi
- Ketua Komite Advokasi dan Bantuan Hukum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi).